Buruknya kualitas pelayanan yang diberikan perusahaan atau institusi publik sudah sejak lama disadari mengakibatkan banyak kerugian. Tidak semua konsumen yang kecewa terhadap pelayanan perusahaan dengan senang hati menyampaikan keluhannya. Artinya meski mereka tidak menyampaikan keluhannya, bukan berarti secara otomatis dianggap puas. Kenyataannya, justru 96% konsumen yang tidak puas secara diam-diam beralih ke jasa pesaing. Itu artinya, diamnya konsumen merupakan sinyal buruk bagi perusahaan karena 4% yang menyampaikan keluhan biasanya adalah mereka yang benar-benar setia pada layanan perusahaan. Indikasi ini bermakna, setiap satu pelanggan yang tidak puas pada dasarnya mewakili 25 pelanggan lain yang kecewa. Bila setiap hari ada 100 pelanggan yang mengeluh, berarti terdapat 2500 konsumen yang kecewa. Angka ini akan melonjak dalam sebulan (30 hari), terdapat 75.000 konsumen kecewa. Jika diasumsikan setiap konsumen mendatangkan laba sebesar Rp 1.000,00 maka perusahaan tanpa disadari telah kehilangan keuntungan Rp 75 juta sebulan atau 900 juta setahun (Lupiyoadi, 2006).
Mereka yang kecewa tidak hanya meninggalkan perusahaan, tetapi juga menceritakan keburukan layanan yang diterima pada orang lain. Citra buruk akan melekat dalam image perusahaan. Dampaknya calon konsumen akan dapat menjatuhkan pilihannya kepada pesaing. Hal ini berarti perusahaan bukannya melakukan aktivitas marketing, tetapi justru menciptakan demarketing. Efek berikutnya akan terjadi permintaan negatif jangka panjang dan itu berarti kerugian bagi perusahaan.
Lebih parah lagi, kerugian ini akan berlanjut ketika perusahaan berupaya mendapatkan pelanggan baru. Diperlukan biaya diasumsikan lima kali lipat untuk mendapatkan seorang konsumen baru, dibandingkan dengan seseorang yang telah menjadi pelanggan. Dapat dihitung juga biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik 75.000 konsumen (sebagai ganti konsumen yang meninggalkannya). Jika diasumsikan biaya pemasaran per konsumen rata-rata Rp 10.000,00 maka perusahaan harus mengucurkan dana Rp 750 juta setahun. Tentunya akan lebih hemat bila perusahaan menginvestasikan misal Rp 250 juta untuk meningkatkan sistem pelayanan kualitasnya kepada konsumen, dibanding menelan kerugian Rp 1,65 miliar (Rp 900 juta + Rp 750 juta).
Berdasarkan latar belakang di atas maka disadari pentingnya kepuasan pelanggan bagi perusahaan. Kepuasan pelanggan merupakan konsekuensi dari perbandingan yang dilakukan oleh pelanggan yang membandingkan antara tingkatan dari manfaat yang dirasakan terhadap manfaat yang diharapkan oleh pelanggan (Guiltinan, 1997). Faktor – faktor/atribut-atribut pendorong kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut (Irawan, 2004) :
- • Kualitas produk, pelanggan puas apabila setelah membeli dan menggunakan produk tersebut ternyata kualitas produknya baik.
- • Harga, untuk pelanggan yang sensitif, biasanya harga murah adalah sumber kepuasan yang penting karena pelanggan akan mendapatkan value for money yang tinggi.
- • Kualitas pelayanan, kepuasan terhadap kualitas pelayanan biasanya sulit ditiru.
- • Faktor emosional, pelanggan akan merasa puas (bangga) karena adanya emosional value yang diberikan oleh brand dari produk tersebut.
- • Biaya dan kemudahan, pelanggan akan semakin puas apabila relatif mudah, nyaman dan efisien dalam mendapatkan produk atau pelayanan.
Dengan demikian jika meningkatkan performa atribut-atribut di atas, maka kepuasan pelanggan juga akan meningkat. Meningkatnya kepuasan pelanggan ini diharapkan dapat meningkatkan upaya mempertahankan pelanggan (customer retention) yang pada akhirnya akan menghasilkan profit yang lebih besar.
Meningkatkan kepuasan pelanggan akan meningkatkan profit juga dikarenakan pelanggan akan semakin sering membeli produk, membeli dalam jumlah yang lebih banyak dan cenderung untuk mencoba produk lain yang ditawarkan perusahaan sehingga akan menurunkan biaya pemasaran dan penjualan dengan adanya informasi dari mulut ke mulut yang positif.
Penulis: Kristina Yohana