Sama halnya
dengan manusia yang tidak jauh dari konflik, organisasi-pun begitu. Terlebih
organisasi terdiri dari berbagai karakteristik orang dimana memiliki pemikiran,
pandangan dan sikap yang berbeda. Hal seperti ini tentunya menjadi salah satu
faktor pemicu konflik. Lalu, sebenarnya apa itu konflik? Menurut Stephen P.Robbins
dan Timothy A. Judge, konflik merupakan sebuah proses yang dimulai ketika satu
pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif,
atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi perhatian dan
kepentingan pihak pertama. Lalu, bagaimana konflik di suatu organisasi dapat
terjadi? Konflik terjadi melalui beberapa tahap (Robbins-Judge, 2008) yaitu :
1. Potensi pertentangan atau ketidakselarasan
Potensi
terjadinya konflik dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu komunikasi, struktur, dan
variabel-variabel pribadi. Komunikasi dapat terhambat ketika seseorang dalam
berkomunikasi menggunakan kata-kata yang tidak umum, akibatnya lawan bicara
memiliki interpretasi yang berbeda atau terjadinya gangguan pada saat
pertukaran informasi, sehingga penerima informasi mendapatkan informasi yang
berbeda.
Selain
komunikasi, struktur juga pemicu terjadinya konflik. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan struktur mencakup variabel-variabel seperti ukuran, kadar spesialisasi
dalam tugas-tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan yurisdiksi,
keserasian antara anggota dan tujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan
kadar ketergantungan antarkelompok. Terakhir, sumber potensi terjadinya
pertentangan adalah variabel-variabel pribadi yang meliputi kepribadian, emosi,
dan nilai-nilai. Tingkat emosi yang tinggi, sifat pribadi yang otoriter, dan
perbedaan nilai-nilai yang dianut tiap orang dapat memicu terjadinya konflik.
2. Kognisi dan Personalisasi
Pada tahap
ini isu konflik mulai didefinisikan dan para pihak mulai memutuskan konflik
yang terjadi tentang apa. Selanjutnya hal ini menjadi penentuan untuk
penyelesaian konflik.
3. Maksud
Maksud
adalah keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu. Terdapat lima keputusan
untuk bertindak, yaitu bersaing, bekerja sama, menghindar, akomodatif, dan
kompromis.
4. Perilaku
Perilaku
merupakan pernyataan, aksi, dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik.
5. Akibat
Timbulnya aksi
dan reaksi dari pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Akibat atau
konsekuensi tersebut dapat menimbulkan akibat fungsional (menghasilkan
perbaikan kinerja kelompok) atau akibat disfungsional (menghambat kinerja
kelompok).
Terkadang
konflik dipandang negatif, tetapi sebenarnya terdapat sisi positifnya juga.
Seperti yang sudah dijelaskan pada tahap lima, yaitu akibat terjadinya konflik.
Konflik bisa memberikan keuntungan bagi organisasi, karena dengan
begitu organisasi dapat mengatasi kelemahan serta mengarahkan organisasi
untuk belajar dan berubah untuk menjadi
lebih baik. Tetapi konflik bisa menjadi petaka dan menciptakan kondisi kacau.
Jadi, ada pro dan kontra antara konflik. Seorang pemimpin harus mampu mengelola
konflik tersebut, supaya konflik tidak berujung buruk. Jangan sampai “good conflict” semakin meningkat dan
pada akhirnya menjadi “bad conflict”.
Beberapa
pemimpin pastinya pernah mengalami hal seperti itu dan berbagai cara sudah
pernah dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan pengalaman
para pemimpin, ada dua strategi untuk menyelesaikan konflik, yaitu mengubah
struktur organisasi untuk mengurangi atau menghilangkan penyebab konflik dan
berusaha mengubah perilaku individu atau menggantikan individu tersebut. Perubahan
struktur artinya perubahan tugas dan wewenang. Salah satu faktor penyebab
konflik bisa juga berkenaan dengan tugas dan wewenang. Adanya perbedaan
pendapat antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam satu tim yang
sama. Sehingga tujuan dari satu tim tersebut pun tidak tercapai karena adanya
perbedaan pendapat atau bisa juga hilangnya kontrol wewenang. Pada saat anggota
organisasi bertugas untuk memberikan keputusan, namun disisi lain sebenarnya
yang berwenang memberi keputusan adalah pemimpinnya sehingga membuat anggota
organisasi menjadi dilema dalam memberikan keputusan tersebut, karena
menurutnya hal tersebut diluar kewenangannya. Strategi selanjutnya adalah
berusaha mengubah perilaku individu atau menggantikan individu tersebut.
Melakukan penggantian individu bisa dengan cara rotasi dari para pekerja lintas
fungsi yang dapat mendorong mereka untuk saling memahami pandangan
masing-masing.
Menurut Jones, dapat disimpulkan bahwa peluang terjadinya konflik dapat diminimalisir melalui desain organisasi yang disusun dengan baik serta pengelolaan sikap individu sebagai anggota penggerak organisasi.
Oleh karena itu, perlu peran pemimpin yang mampu mengelola konflik supaya dapat mengantisipasi terjadinya konflik dengan tepat dan apabila konflik sudah terjadi, konflik tersebut memberikan akibat fungsional sehingga organisasi justru tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang lebih baik.
Penulis: Anna Antyaning K, SE